“Cowok Cantik”: Ekspresi, Stereotip, hingga Objektifikasi Laki-laki
Ditulis oleh: Hilma Dhelianti
Belakangan ini, istilah “cowok cantik” marak kita jumpai di sejumlah sosial media seperti TikTok dan Twitter. “Cowok cantik” merupakan istilah yang umumnya ditujukan pada laki-laki yang berpenampilan atau berperilaku feminin. Maraknya penggunaan istilah “cowok cantik” tidak terlepas dari kebebasan ekspresi gender yang gencar dipromosikan. Publik kini mulai meyakini bahwa diksi cantik bersifat universal, tidak terbatas pada perempuan saja. Meskipun begitu, penggunaan istilah tersebut semakin meluas hingga tidak jarang mengarah pada stereotip dan objektifikasi pada laki-laki.
Stereotip terhadap laki-laki feminin bekerja seperti istilah judging a book by its cover dimana publik akan menilai seseorang berdasarkan stereotip atau stigma sosial yang melekat pada sesuatu tentang orang tersebut. Contoh dari stereotip terhadap laki-laki feminin adalah penampilan serta perilaku yang diindikasikan sebagai tanda seorang homoseksual. Pemikiran ini jelas salah karena melanggengkan konsep maskulinitas dan femininitas yang terstigmatisasi atau lebih dikenal dengan istilah maskulinitas dan femininitas toksik. Lagipula, ekspresi gender sama sekali tidak ada hubungannya dengan seksualitas seseorang. Seorang laki-laki bisa berpenampilan feminin meski merupakan seorang heteroseksual atau berpenampilan maskulin meski ia merupakan seorang homoseksual.
Laki-laki feminin juga tidak terlepas dari objektifikasi publik baik secara langsung maupun melalui media yang dapat mengganggu kenyamanan karena stigma yang terus berkembang. Salah satu objektifikasi yang umum ditemui adalah stigma bahwa perilaku feminin pada laki-laki merupakan tanda bahwa laki-laki tersebut tidak berdaya, membutuhkan seseorang yang lebih maskulin, atau bahkan merupakan pihak perempuan dalam suatu hubungan. Publik tidak jarang akan menyandingkan seorang laki-laki feminin dengan laki-laki atau perempuan lain yang lebih maskulin. Segala bentuk interaksi antara keduanya diromantisasi ke dalam konsep “seorang yang feminin harus dilindungi oleh seseorang yang maskulin”, tidak peduli gender maupun hubungan antara mereka yang diobjektifikasi. Hal serupa juga dapat ditemukan di media terutama dalam karya tulis fiksi yang menceritakan hubungan sesama jenis.
Istilah “cowok cantik” yang semakin populer belakangan ini menggambarkan pergeseran dalam ekspresi gender dan stigma sosial terhadap laki-laki feminin. Konotasi publik terhadap ekspresi gender satu ini meluas hingga menjadi stereotip dan objektifikasi. Asumsi mengenai orientasi seksual hingga dinamika dalam berhubungan menjadi salah satu stereotip yang dikaitkan dengan laki-laki feminin. Hal tersebut kemudian menjadi dasar atas objektifikasi yang diterima laki-laki feminin. Kenyamanan jelas dapat terganggu dengan hubungan sosial antarindividu. Terlebih lagi, berasumsi mengenai seksualitas seseorang berdasarkan stigma sosial adalah hal yang salah.
Dari gender ekspresi hingga objektifikasi, khawatir kian terpercik seiring dengan batas yang dilampaui.
Referensi:
Galvez, G. (2020, February 27). Minus the City: The Fetishization of Queer Sexuality. The Colgate Maroon-News. Retrieved March 23, 2023, from https://thecolgatemaroonnews.com/645/commentary/minus-the-city-the-fetishization-of-queer-sexuality/
Marquis, A. (2021, October 12). Fetishization of the Queer Community — Youth OUTright. Youth OUTright. Retrieved March 23, 2023, from https://www.youthoutright.org/articles/fetishization-of-the-queer-community
Tabularasa. (2018, August 28). Fetishizing Gay Relationship: When Ship and Fan Fiction Turn Toxic. Magdalene.co. Retrieved March 23, 2023, from https://magdalene.co/story/fetishizing-gay-relationship-when-ship-and-fan-fiction-turn-toxic